Penulis: Victor Riwu Kaho

Pada hari Minggu (2/5/2021) yang lalu, MotoGP Spanyol 2021 di Circuito de Jerez menjadi seri penuh kekecewaan bagi Fabio Quartararo yang merupakan Kampiun pada dua seri balapan sebelumnya.  Bagaimana tidak? Mengawali balapan dari urutan terdepan, Fabio Quartararo sejatinya tampil dominan karena sudah memimpin cukup aman hingga putaran 7 dari 21. Tiba-tiba Jack Miller, pembalap Ducati Lenovo Team, yang berada di urutan kedua dan tertinggal dengan selisih >1 menit, berhasil merapat dan melewati Fabio Quartararo.  Tidak hanya itu, posisi Fabio kemudian terus melorot sehingga akhirnya finish di urutan ke-13.

Berdasarkan release yang diberikan, pembalap Monster Energy Yamaha ini didiagnosis menderita cidera arm pump yang membuat lengannya tidak dapat berfungsi dengan normal. Arm pump terjadi akibat otot yang kejang secara berlebihan sehingga menyempitkan aliran darah. Penyempitan ini membuat berkurangnya supply oksigen ke lengan dan tangan sehingga timbul rasa sakit hebat atau sebaliknya, mati rasa.

Mengenai penanganannya, arm pump biasanya diatasi dengan operasi yang disebut fasciotomy. Dalam operasi tersebut, sebuah celah dibuat di membran fascia untuk mengurangi tekanan dalam pembuluh darah.  Sayangnya, dalam catatan sejarah yang saya miliki, para pembalap motoGP yang pernah terpapar oleh risiko ini umumnya gagal untuk kembali ke kondisi puncak sebelum cidera.  Sebagian malah akhirnya memutuskan untuk pensiun dini.

Dalam sebuah wawancara, Carlo Pernat, seorang pengamat kondang MotoGP, menyayangkan terjadinya risiko arm pump yang dialami Fabio Quartararo pada balapan di Jerez tersebut. Pernat menilai Management Team Monster Energy Yamaha telah lalai mengantisipasi dan mencegah risiko arm pump ini. Karena sesungguhnya pada tahun 2019 lalu, Fabio Quartaro pernah terpapar risiko yang sama.  Bagi Pernat, target juara dunia yang diemban Fabio Quartararo bisa tamat jika terpapar risiko arm pump berulang kali.  Karena tiap kali terpapar, magnitude dampak kerusakan lengan akan semakin parah.  Management Team harusnya sudah lebih ketat mengatur dan mengawasi disiplin terhadap program latihan guna mendeteksi dini dan mencegah terjadinya risiko ini ketika para Pembalapnya berlomba di sirkuit balapan.

Kritikan pedas dari Carlo Pernat ini, jika dicermati sebenarnya merujuk kepada berbagai kapabilitas organisasi yang didesain dan dijalankan oleh Management Team. Mulai dari penetapan sasaran dengan berbagai target kinerja sampai pada operasionalisasi model bisnis untuk mencapai sasaran dengan berbagai target kinerja tersebut.  Berbagai kapabilitas ini tergabung dalam tiga kelompok besar, yaitu:

  • Governansi: kumpulan kapabilitas untuk mengurus dan mengatur penciptaan nilai organisasi melalui penggunaan berbagai mekanisme yang andal untuk penetapan sasaran dan pencapaiannya.
  • Manajemen risiko: kumpulan kapabilitas untuk mengidentifikasi dan memitigasi berbagai ancaman kegagalan mencapai sasaran, sambil memanfaatkan peluang-peluang keberhasilan yang timbul.
  • Manajemen kepatuhan: kumpulan kapabilitas untuk mengidentifikasi berbagai kewajiban kepatuhan dalam upaya penciptaan nilai organisasi dan memastikan kedisiplinan dalam memenuhi kewajiban tersebut.

Penerapan governansi, manajemen risiko, dan kepatuhan di atas, umumnya dilakukan secara terpisah-pisah (silos).  Namun perkembangan terkini menunjukan pendekatan terintegrasi justru lebih bermanfaat bagi penciptaan nilai organisasi.  Karena itu belakangan ini, praktek integrated GRC (iGRC) mengalami peningkatan dari sisi jumlah organisasi peminatnya.  Akan tetapi sejauhmana penerapan iGRC mencapai level yang memberi manfaat penuh bagi organisasi, perlu diukur dengan menggunakaan perangkat GRC maturity assessment yang berbasis pada GRC maturity model.

Secara konseptual, GRC Maturity Model merupakan hasil integrasi maturity model ke dalam GRC capability model.  Antonucci (2016) menyatakan bahwa maturity model merupakan suatu model yang menggabungkan teory, praktek, pengalaman, kebijaksanaan, dan asumsi tentang kesempurnaan, dalam bentuk seperangkat alat uji untuk menilai keefektifan dari “sesuatu” yang sedang dikerjakan dari waktu-ke-waktu, sehingga dapat menjadi basis bagi perencanaan dan implementasinya dalam bentuk roadmap.  Dengan demikian GRC maturity model merupakan suatu maturity model yang menjadikan GRC sebagai “sesuatu” yang dimaksudkan dalam definisi-nya Antonucci (2016).  Dalam pengertian saya sendiri, GRC maturity model merujuk kepada model yang didesain untuk membantu organisasi menilai seberapa efektif penerapan GRC telah memberi manfaat optimal bagi organisasi.  Para prakteknya, GRC maturity model memiliki perangkat penilaian yang disebut GRC maturity assessment yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang GRC maturity level.  Semakin tinggi skor GRC maturity level sebuah organisasi pengguna iGRC, menunjukkan semakin andal organisasi tersebut dalam hal pengaturan berbagai kapabilitas, untuk penetapan berbagai sasaran dan pencapaiannya, melalui mitigasi ancaman gagal sambil eksploitasi peluang sukses, dengan penuh disiplin dan berintegritas.

Karena itu, kritik Carlo Penat di atas bisa dimaknai sebagai cara beliau untuk mempertanyakan GRC maturity  level yang diterapkan oleh Management Monster Energy Yamaha Team.  Karena cita-cita yang tinggi hanya akan menjadi sekedar mimpi jika tidak didukung oleh GRC maturity level yang memadai.  Saya jadi bertanya dalam hati. Jangan-jangan, kritikan Carlo Pernat ini juga relevan bagi kita para Pengurus organisasi?  Semoga tidak!