Subramaniam Anbanathan – Anggota Bidang Pengembangan, Asosiasi GRC Indonesia

 

Peran dan keberfungsian pengelolaan risiko sudah menjadi sebuah keniscayaan bagi hampir seluruh aktivitas dalam menyikapi dinamika disrupsi yang saat ini sudah memasuki era transformasi BANI (Brittle, Anxious, Non-linear, Incomprehensible). Dalam artikel yang bertajuk “Transformation to the Era of BANI”, Stephan Grabmeier, mengungkapkan bahwa sudah terjadi pergeseran paradigma dan wawasan dalam menyikapi ketidakpastian dari perspektif yang telah dibangun dan dipahami selama era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) yang dimulai pada tahun 1980 menuju TUNA (Turbulency, Uncertainty, Novelty, Ambiguity) yang dimulai pada tahun 2018 oleh Ramirez & Wilkinson, dan akhirnya sampai ke era BANI yang dimulai pada 2020. Fokus utama pergeseran era transformasi BANI mengacu pada tuntutan untuk memahami tata cara dalam menyikapi kompleksitas yang mengalami perubahan dari pola cognitive complexity menuju cyclomatic complexity. Uraiannya adalah sebagai berikut:

  1. Cognitive Complexity merupakan pola kompleksitas yang dapat dipelajari dari waktu ke waktu terhadap karakteristik dan potensi perubahannya di masa yang akan datang. Hal ini dapat dilakukan melalui serangkaian kajian, baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang pada gilirannya dapat memberikan sebuah permodelan yang dapat disikapi lebih optimal dan efektif;
  2. Cyclomatic Complexity merupakan pola kompleksitas yang cenderung misterius, tidak ada acuan atau referensi yang dapat dipelajari. Keberadaan data dan informasi, termasuk pengalaman dan pemelajaran di masa yang lalu terkesan tidak cukup untuk menjelaskan karakteristik jenis kompleksitas ini. Pendekatan terbaik masih mengacu pada uji coba dan mempelajari keefektifannya secara non-linier.

Pemahaman terhadap elemen utama BANI dapat dijadikan basis untuk membangun pemahaman dan kapabilitas dalam menyikapi pola cyclomatic complexity, yakni:

  1. Brittle atau kerapuhan: aspek ini menjelaskan bahwa sesuatu yang sebelumnya dinilai andal dan memiliki fleksibilitas secara bertahap atau mendadak dapat berubah menjadi rapuh dan tidak dapat diandalkan lagi. Fenomena kerapuhan ini dapat diamati secara jelas jika organisasi selama ini (1) cenderung berorientasi pada kegiatan yang cenderung didominasi oleh upaya untuk memaksimalkan keuntungan tanpa mempertimbangkan pola fair margin, (2) mengeksploitasi lahan pertanian secara berlebihan sehingga rentan terhadap kegagalan panen tanpa mempertimbangkan kelangsungan sumber daya (sustainability), (c) adanya kutukan sumber daya (resource curse) terhadap aktivitas yang mencakup wilayah yang luas namun hanya bergantung pada sumber daya alamnya saja tanpa peduli dengan kemajuan teknologi, dll.
  2. Anxious atau kecemasan: aspek ini menjelaskan kondisi yang terkesan permanen terhadap pemberitaan yang meningkatkan rasa cemas, khususnya semasa pandemi Covid-19 beberapa waktu yang lalu dan dampak lanjutan terhadap varian yang berkembang, termasuk kecemasan untuk menyikapi pengembangan usaha. Fenomena kecemasan ini dapat diamati melalui serangkaian kecenderungan, seperti (1) perilaku wait and see terhadap bencana berikutnya yang akan terjadi, (2) menjadi pasif dalam membuat keputusan yang berpotensi salah, (3) merasa putus asa tentang adanya potensi peluang, (4) menghadapi firasat buruk karena bergantung pada individu atau institusi tertentu, dll.
  3. Non-linear atau ketidaklinieran: aspek ini menunjukkan kondisi sebab dan akibat dalam sebuah peristiwa sudah tidak mengacu pada logika rantai sebab-akibat yang cenderung linier seperti yang dipahami sebelumnya. Fenomena ketidaklinieran ini dapat dilihat pada kondisi dimana ada kondisi dimana keputusan kecil memiliki yang tidak memberikan dampak signifikan, justru pada kenyataannya berubah menjadi sesuatu yang memberikan efek signifikan terhadap tujuan organisasi. Perubahan menyebabkan konsekuensi dengan penundaan besar atau hanya kemudian menjadi nyata. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang kecil belum tentu kecil dan sebaliknya upaya yang besar bisa berpotensi menjadi sia-sia.
  4. Incomprehensible atau ketidakpahaman: aspek ini menunjukkan kondisi peristiwa yang cenderung tidak memiliki logika dan urutan kejadian yang jelas, sehingga sulit untuk dipahami asal usul dan rangkaian kejadiannya. Fenomena ketidakpahaman ini dapat dilihat pada kondisi dimana organisasi yang telah memiliki banyak informasi dan data yang tersedia justru mengalami kesulitan untuk menemukan jawabkan atas masalah yang dihadapinya atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa makin banyak data dan informasi yang dimiliki sebenarnya hanya membanjiri kapasitas berpikir untuk menemukan jawabkan yang dibutuhkan (boredom and conflict of data).

Proses pembelajaran dan pemelajaran terhadap karakteristik BANI menuntut adanya perubahan dalam mendesain dan menerapkan pengelolaan risiko yang salah satunya dapat dilakukan dengan memberdayakan pola ambidexterity. Ini merupakan pola disruptif yang memadukan porsi yang sesuai antara pendekatan berbasis eksplorasi dan eksploitasi yang diterapkan secara simultan. Setidaknya target awalnya mengacu pada pengayaan dimensi dalam mengejawantahkan konteks dalam pengelolaan risiko. Keberadaan dimensi konteks internal dan eksternal perlu diperkaya dengan tambahan “konteks risiko” (Hopkin & Thompson, 2022). Pengayaan konteks yang dimaksud dapat dilihat di diagram berikut ini:

Uraian dari konteks risiko yang dimaksud adalah (namun tidak terbatas pada):

  1. Strategi Risiko: mencakup penetapan kebijakan dan budaya, peta proses dan program utama, KPI risiko, selera dan toleransi risiko, kompetensi dan pembelajaran;
  2. Arsitektur Risiko: mencakup penetapan peran dan tanggung jawab, kerangka komunikasi dan konsultasi, kerangka pemantauan dan pemeriksaan, kerangka lini model asuran, kerangka penilaian dan perlakuan risiko, kerangka pelaporan;
  3. Protokol Risiko: mencakup pedoman, prosedur, kesisteman, teknik dan metodologi, dokumentasi dan pelaporan.

Elaborasi terhadap konteks pengelolaan risiko dalam menyikapi era BANI selanjutnya masih perlu ditindaklanjuti agar dapat dikembangkan struktur dan kertas kerja yang pragmatis terhadap peran ketiga dimensi konteks risiko tersebut.

Dikirimkan tanggal 2 November 2022